Berlatih Kesabaran kepada Imam As-Syafi’i dan Junaid al-Baghdadi

Berlatih sabar berarti berlatih mengendalikan amarah atau ghadhab. Amarah kerapkali diartikan sebagai kondisi mendidihnya darah dalam jantung yang mendorong seseorang untuk mencaci-maki, mencela dan menuntut balas atas perlakuan yang membuatnya sampai pada kondisi tersebut.

Kemarahan tidak bisa diundang atau dipaksa datang. Persis seperti cinta. Sebab, ia tergolong dalam sifat naluriah manusia. Sebagaimana seseorang tidak dapat dipaksa untuk mencintai, ia juga tidak dapat dipaksa untuk memarahi.

Selain itu, kemarahan juga tidak bisa dimusnahkan dan menghabisinya hingga ke akar. Kita hanya bisa mengendalikannya menjadi energi positif yang dahsyat.

Karena itu, ulama tidak pernah memberi tips untuk memusnahkan kemarahan, melainkan mengendalikannya. Satu-satunya alat mengendalikan kemarahan adalah ilmu dan kepekaan mengambil hikmah dari setiap kejadian.

Bacaan Lainnya

Terkait bagaimana mengendalikan sifat marah, kita bisa belajar dari kisah Imam Muhammad bin Idris As-Syafi’i dan Imam Junaid Al-Baghdadi, sebagaimana dalam kitab Tanwirul Qulub karya Syekh Muhammad Amin Al-Kurdi Al-Irbili (wafat 1322 H), seorang Syafi’i sentris dan asketis penganut tarekat Naqsabandiyah.

Kisah Imam As-Syafi’i dan Para Pendengki Adalah Imam Muhammad bin Idris As-Syafi’i, termasuk ulama yang masyhur dengan hiasan akhlak terpuji.

Selain dermawan, ia juga terkenal berhati lapang, lembut, penyabar dan penuh kasih sayang. Berkali-kali sekelompok pendengki berupaya membuatnya marah.

Namun sayang, upaya demi upaya selalu gagal. Sampai pada suatu hari, sekelompok pendengki mendatangi seorang tukang jahit setelah mengetahui bahwa As-Syafi’i meminta agar dibuatkan baju di sana.

Segala bujuk rayu mereka lakukan di hadapan si tukang jahit demi menyalurkan misi kedengkian mereka terhadap As-Syafi’i. Sampai-sampai mereka berani membayar mahal si tailor agar ia menuruti apapun yang mereka mau.

Pendek kisah, setelah mendapati tawaran bayaran yang tinggi, bapak tukang jahit langganan As-Syafi’i itupun sanggup menjalankan perintah apapun.

Tanpa pikir panjang, para pendengki lekas menyerahkan uang dan membisikkan sebuah misi aneh.

Selama menjadi penjahit senior, baru pertama kali itu ia mendapat misi yang melenceng dari kapasitasnya sebagai tukang jahit profesional.

Rupanya, ia diminta agar menjahit lengan kanan baju seorang imam yang ia kagumi, As-Syafi’i, dengan sangat sempit.

Sekiranya as-Syafi’i akan kesulitan memasukkan tangan kanannya dan tentu lebih sukar lagi untuk mengeluarkannya. Sedang lengan kiri baju tersebut dibuat berumbai-rumbai, sangat lebar.

Kurang lebih mungkin seperti lengan baju Mak Lampir. Sebuah misi yang sangat tidak mudah bagi seorang penjahit profesional. Sebab, mustahil ia tanpa sengaja menjahit dengan sebegitu aneh.

Profesionalitasnya akan menduskan buah tangannya sendiri.

Tetapi, sanggup atau tidak, ia harus melakukannya. Kontrak sudah ia tanda tangani dan uang telah ia terima.

Tidak lama berselang, tukang jahit mengantarkan baju aneh itu kepada As-Syafi’i.

Dengan bentuk baju yang sedemikian unik dan mengocok perut para pendengki, diharapkan As-Syafi’i akan marah geram dengan muka yang merah padam.

Harapan para pendengki, As-Syafi’i akan memaki-maki si tukang jahit sambil mengeluarkan dalil-dalil agama. Menyampaikan hadits dan beberapa ayat Al-Qur’an sambil berapi-api, penuh kebencian.

Namun, As-Syafi’i yang mereka hadapi dari dulu hingga saat ini tetaplah As-Syafi’i yang lembut, penuh kasih sayang dan anti siaran kebencian.

Alih-alih diharapkan memaki-maki, malah berterima kasih dan mendoakan tukang jahit langganannya yang profesional itu.

Jangankan sampai memaki, bertanya mengapa ia menjahit seperti itu saja tidak keluar dari lisan As-Syafi’i.

Dalam kondisi yang sedemikian “keruh”, ia mampu sangat cepat mengendalikan kemarahannya dan mengubahnya menjadi energi positif yang dahsyat, menjadi terima kasih dan doa kebaikan.

As-Syafi’i berkata:

جزاك الله خيرا حيث ضيّقْتَ كمي اليمين لأجل الكتابة ولم تحوجني إلى تشميره ووسّعْتَ اليسار لأحمل فيه الكتب

Artinya, “Terima kasih, semoga Allah membalasmu dengan limpahan kebaikan lantaran engkau menjahit lengan kanan bajuku sangat sempit, dengan begini aku tidak perlu repot menggulungnya ketika menulis dan berkarya.

Adapun lengan baju kiriku yang merumbai, itu sangat menguntungkan bagiku. Lengan baju itu memudahkanku membawa pelbagai kitab dengan jumlah banyak.” Sang tukang jahit, seketika tersipu malu melihat sikap seorang imam mulia yang ia kagumi selama ini.

Ia bertekad tidak akan pernah melakukan hal serupa lagi. Berkat pengendalian As-Syafi’i, tukang jahit itu pun bertaubat.

Ternyata, sikapnya tersebut mampu menjadi energi nasehat yang besar.

Saat Imam Junaid al-Baghdadi Disiram Sisa Basuhan Ikan

Peristiwa yang menimpa Imam Junaid juga ulah dari para pendengki yang ingin menguji kesabarannya. Tragedi tersebut terjadi ketika hari Jumat, tepat ketika Imam Junaid berangkat ke mesjid, hendak menghadiri ibadah shalat Jumat.

Tiba-tiba, sekelompok heaters yang hidup berdampingan dengannya mengeluarkan jurus jitu demi membuat Imam Junaid marah.

Mereka bersekongkol menyiram Imam Junaid dengan air sisa basuhan ikan yang telah mereka siapkan.

Air sisa basuhan ikan yang amis luar biasa itupun akhirnya membasahi seluruh pakaian dan badan Sang Imam.

Beruntungnya, karena ia disiram tepat ketika baru keluar dari pintu rumah. Sebelum ia jauh berjalan. Sekalian pembenci menanti-nanti kondisi di mana Imam Junaid marah besar dan memaki-maki sekelilingnya secara membabi buta, tanpa henti.

Namun, Imam Junaid tak akan pernah menjadi guru besar para sufi, tempat para ulama yang lain belajar tentang sabar, jika ia sendiri gagal menjadi penyabar. Imam Junaid malah tertawa terbahak-bahak mendapat perlakuan itu, seraya berkata:

من استحق النار فصولح بالماء لا ينبغي له الغضب

Artinya, “Orang yang berhak masuk neraka (seperti diriku ini), lalu mendapat rekonsiliasi dari Tuhan (melalui) siraman air basuhan ikan, jelas tidak pantas marah. Adanya justru bahagia,” ucapnya penuh girang.

Lalu, ia kembali masuk rumah dan mengganti pakaian yang basah kuyup itu dengan pakaian istrinya.

Tampaknya, Imam Junaid yang zuhud lagi warak ini tidak memiliki pakaian lagi selain yang ia kenakan, sehingga harus menggantinya dan shalat jumat dengan pakaian sang istri.

Muhammad Amin Al-Kurdi Al-Irbili, Tanwirul Qulub fi Mu’amalati Allamil Guyub, halaman 436).

Hikmah Kesabaran

Menyimak dua kisah di atas, tiada lain yang dapat mengendalikan marah selain ilmu dan ketangkasan mengambil hikmah dari setiap kejadian.

Ilmu akan membuat kita selalu berbaik sangka kepada Allah, yang menciptakan kita semua dan semua yang kita perbuat.

Dan, husnudhzan itulah yang mengantarkan kita mampu menjangkau hikmah dengan cepat. Tentunya, ini memerlukan latihan spiritual (riyadhah ruhiyah) yang tidak sebentar. Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam bisshawab.

Komentar ditutup.