Biografi Imam Syafi’i Lengkap : Ajaran, Keistimewaan dan Perjalanannya

Biografi Imam Syafi’i – Nama asli Imam Syafi’i adalah Muhammad bin ldris bin Al-Abbas bin Utsman bin Syafi’i  bin Ubaid bin Abdu Yazid bin Hasyim bin Al- Muttalib (ayah Abdul Muttalib kakek Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam) bin Abdi Manaf.

Silsilah Beliau bertemu nasabnya dengan Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Salam pada Abdi Manaf.

Beliau bergelar Nashirul hadits (pembela hadits), karena kegigihannya dalam membela hadits dan komitmennya untuk mengikuti sunnah Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Salam. ( Manaaqib Asy-Syafi’i, Baihaqi, 1/472  )

Mengenai Kota kelahiran Imam Syafi’i, lmam Al-Baihaqi menyebutkan,”lmam Asy-Syafi’i dilahirkan di kota Ghazzah, kemudian dibawa ke Asqalan, lalu dibawa ke Mekkah.( Ibid, 2/71)

Bacaan Lainnya

lbnu Hajar menambahkan,” lmam Asy-Syafi’i dilahirkan di sebuah tempat bernama Ghazzah di kota Asqalan.

Ketika berusia dua tahun ibunya membawanya ke Hijaz dan hidup bersama orang-orang keturunan Yaman karena ibunya dari suku Azdiyah. Diusia 10 tahun, beliau dibawa ke Mekkah karena khawatir nasabnya yang mulia akan lenyap”( Tawaali At-Ta’sis, 51 ).

Perjalanan Menuntut Ilmu Iman Syafi’i

Beberapa keistimewaannya dalam usia 7 tahun lmam Asy-Syafi’i selesai menghafal Al-Qur’an dan usia 10 tahun beliau hafal Al- Muwaththa’ karya lmam Malik, usia 15 tahun dengan izin gurunya yang bernama Muslim bin Khalid Az-Zanji untuk berfatwa.

Beliau juga banyak menghafal syair-syair Hudzail. Setelah itu beliau pergi ke Madinah untuk belajar fiqih dari lmam Malik bin Anas hingga lmam Malik wafat tahun 179H, setelah itu beliau belajar dai Sufyan bin ‘Uyainah.

Dari hasil menggadaikan rumahnya seharga 16 dinar, lmam Syafi’i pergi ke Yaman. Karena ketidakmampuannya beliau bekerja di Yaman sambil belajar dari para ulama-ulama di sana di antaranya lbnu Abi Yahya dan lainnya.

ilustrasi

Ketika itu, di saat pemerintahan Khalifah Harun Al-Rasyid terjadi fitnah ‘Alawiyyin yang mengakibatkan seluruh ‘Alawiyyin terusir dari Yaman termasuk lmam Syafi’i.

Beliau bersama rombongan ‘Alawiyyin dibawa ke lrak dengan diikat dan sambil disiksa. Keluar dari penjara lrak beliau belajar dari para ulama-ulama di sana seperti lmam Muhammad bin Al-Hasan.

Ketika pemerintahan Al-Makmun yang dikuasai oleh para ulama ahli kalam dan merebak banyak  bid’ah, beliau pergi ke Mesir dan beliau membuka halaqah di masjid Amr bin Al-‘Ash.

Guru dan Murid-murid Imam Asyafi’i

lmam Syafi’i mengambil ilmu dari para ulama di berbagai tempat misalnya di Makkah, Madinah, Kufah, Bashrah, Yaman, Syam dan Mesir.

lmam Al-Baihaqi menyebutkan beberapa orang guru lmam Asy-Syafi’i di antaranya sebagai berikut:

Guru lmam Syafi’i Di Makkah

  • lmam Sufyan bin Uyainah.
  • Abdurrahman bin Abu Bakar bin Abdullah bin Abu Mulaikah.
  • lsmail bin Abdullah Al-Muqri.
  • Muslim bin Khalid Az-Zanji.

Guru lmam Syafi’i Di Madinah

  • lmam Malik bin Anas.
  • Abdul Aziz bin Muhammad Ad-Darawirdi.
  • lbrahim bin Sa’ad bin Abdurrahman.
  • Muhammad bin lsmail Abu Fudaik.

Guru lmam Syafi’i Di tempat-tempat yang lain

  • Hisyam bin Yusuf Al-Shan’ani.
  • Mutharrif bin Mazin Al-Shan’ani.
  • Waki’ bin Jarrah
  • Muhammad bin Hasan Al-Syaibani

Murid-murid beliau yang terkenal adalah;

  1. Rabi’ bin Sulaiman bin Abdul Jabbar tokoh hadits dan fiqih, menjadi syaikh muazzin di masjid Fusthath.
  2. Abu lbrahim lsmail bin Yahya bin lsmail bin Amr bin Muslim Al-Muzani Al-Mishri.
  3. Abu Yaqub Yusuf bin Yahya Al-Mishri Al-Buwaithi.

Beliau juga bertemu dengan lmam Ahmad bin Hambal dan saling mengambil ilmu antara keduanya.

Karya-karya Imam Syafi’i

lmam  Syafi’i memiliki karya tulis yang banyak sekali, di antaranya yang paling terkenal adalah:

  1. Kitab Al-Umm, Kitab fiqih yang terdiri dari empat jilid berisi 128 masalah dan terbagi ke dalam 40 bab
  2. Kitab Al-Risalah Al-Jadidah, Kitab ini dianggap sebagai induk kitab ushul fiqh yang terdiri dari satu jilid besar yang sudah di-tahqiq oleh Ahmad
  3. Selain yang dua ini ada beberapa kitab yang dinisbahkan kepada beliau di antaranya kitab Al- Musnad, As-Sunan, Ar-Rad ‘ala Al-Barahimiyah dan Mihnatu Imam Asy-Syafi’i.

Wafatnya Imam Syafi’i

Setelah mengalami penyakit wasir yang menyebabkan keluar darah terus menerus, lmam Asy- Syafi’i wafat pada akhir bulan Rajab tahun 204H  dan dimakamkan di Mesir. Wallahu ‘A’lam.

Dasar-dasar Imam Asy-Syafi’i Dalam Menetapkan Aqidah

Sebagaimana para ulama salaf lainnya, lmam Asy-Syafi’i membuat beberapa landasan (Kaidah) dalam menetapkan Kaidah di antaranya adalah sebagai berikut:

Kaidah pertama: Iltizam (komitmen) terhadap Al-Qur’an dan Sunnah dan mendahulukan keduanya dari akal.

Mengambil  lahiriyah Al-Qur’an dan sunnah dan menjadikan keduanya sebagai landasan dan sumber dalam menetapkan aqidah islamiyah. Apa yang ditetapkan oleh keduanya maka wajib diterima dan apa yang dinafikan oleh keduanya wajib untuk ditolak, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَّلَا مُؤْمِنَةٍ اِذَا قَضَى اللّٰهُ وَرَسُوْلُهٗٓ اَمْرًا اَنْ يَّكُوْنَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ اَمْرِهِمْ ۗوَمَنْ يَّعْصِ اللّٰهَ وَرَسُوْلَهٗ فَقَدْ ضَلَّ ضَلٰلًا مُّبِيْنًاۗ

Wa mā kāna limu’miniw wa lā mu’minatin iżā qaḍallāhu wa rasūluhū amran ay yakūna lahumul-khiyaratu min amrihim, wa may ya‘ṣillāha wa rasūlahū faqad ḍalla ḍalālam mubīnā(n).

Tidaklah pantas bagi mukmin dan mukminat, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketentuan, akan ada pilihan (yang lain) bagi mereka tentang urusan mereka. Siapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, sungguh dia telah tersesat dengan kesesatan yang nyata. (  Surat Al-Ahzab :36)

lmam  Asy-Syafi’i  berkata,”  Aku  beriman  kepada Allah SWT dan  apa yang  datang  dari Allah SWT sesuai yang diinginkan  oleh Allah SWT. Dan aku beriman  kepada Rasulullah SAW dan apa yang datang dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam sesuai dengan apa yang dimaksudkan Rasulullah SAW ”. ( Majmu’ Fatawa, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, IV/2, VI/354 )

Kedudukan As-Sunnah menurut lmam Syafi’i dan bantahan beliau terhadap orang yang mengingkar sunnah sebagai hujjah.

lmam  Asy-Syafi’i  berkata,”  Semua  yang  datang dari sunnah merupakan penjelasan dari al-Qur’an. Maka setiap   orang   yang   menerima   Al-Qur’an,   maka   wajib menerima sunnah Rasululah, karena Alah Subhanahu wa Ta’ala  mewajibkan hamba-Nya  untuk mentaati Rasul-Nya dan mematuhi hukum-hukumnya. Orang yang menerima apa yang datang dari Rasululah Shalalahu ‘alaihi wa Salam berarti ia telah menerima apa yang datang dari Allah Subhanahu wa Ta’ala, karena Dia telah mewajibkan kita untuk mentaatinya”. ( Al-Risalah, hal. 32-33 )

Beliau berdalil dengan sejumlah ayat di antaranya firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اَطِيْعُوا اللّٰهَ وَاَطِيْعُوا الرَّسُوْلَ وَاُولِى الْاَمْرِ مِنْكُمْۚ فَاِنْ تَنَازَعْتُمْ فِيْ شَيْءٍ فَرُدُّوْهُ اِلَى اللّٰهِ وَالرَّسُوْلِ اِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُوْنَ بِاللّٰهِ وَالْيَوْمِ الْاٰخِرِۗ ذٰلِكَ خَيْرٌ وَّاَحْسَنُ تَأْوِيْلًا ࣖ

Yā ayyuhal-lażīna āmanū aṭī‘ullāha wa aṭī‘ur-rasūla wa ulil-amri minkum, fa in tanāza‘tum fī syai’in fa rudd­hu ilallāhi war-rasūli in kuntum tu’minūna billāhi wal-yaumil-ākhir(i), żālika khairuw wa aḥsanu ta’wīlā(n).

Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nabi Muhammad) serta ululamri (pemegang kekuasaan) di antara kamu. Jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (sunahnya) jika kamu beriman kepada Allah dan hari Akhir. Yang demikian itu lebih baik (bagimu) dan lebih bagus akibatnya (di dunia dan di akhirat). ( Surat An-Nisaa :59)

Bantahan lmam  Syafi’i  kepada orang  yang  mengingkari sunnah sebagai hujjah.

  1. Allah SWT  telah  mewajibkan  kita untuk mengikuti sunnah Rasulullah Shalla llahu ‘alaihi wa Sa la m dan menyuruh kita me matuhi perintah dan menjauhi
  2. Tidak ada cara lain bagi kita untuk mentaati perintah  Allah SWT  tersebut kecuali dengan mengama lkan apa yang datang dari Rasulullah Shalla llahu ‘a laihi wa Sa lam dengan lapang dada dan bersih hati dari keinginan untuk menolaknya, serta pasrah pada perintah dan hukum- hukumnya.
  3. Seorang muslim me mbutuhkan sunnah Rasulullah Shalla llahu ‘a laihi wa Sa la m untuk menje laskan globa litas isi Al-Qur’an.

Pandangan Imam Asy-Syafi’i tentang hadits Ahad

Hadits Ahad adalah hadits yang tidak memenuhi semua atau sebagian syarat -syarat hadits mutawatir. (Syarah Nukhbatul Fikar, Ibnu Hajar AL-Asqalani 4-8 ) Yaitu diriwayatkan oleh orang banyak yang menurut adat dan logika mereka tidak mungkin berdusta, dan diriwayatkan dari orang banyak dan menyandarkan hadit kepada sesuatu yang bisa dirasakan oleh indera.

Adapun kriteria hadits yang diterima oleh lmam Asy-Syafi’i adalah:

  1. Sanadnya bersambung (tidak terputus).
  2. Para perawinya
  3. Perawinya dhabit (tepat dan sempurna hafalannya).
  4. Selamat dari syudzuz (riwayatnya tidak bertentangan dengan riwayat orang lain yang lebih tsiqah).
  5. Selamat illat (cacat) yang membuatnya. (  Syarat-syarat ini sesuai dengan yang ditetapkan oleh ulama hadits, lihat Ikhtishar ‘Ulumul Hadits, hal. 10, Tadrib Al-Raawi, hal. 22 dan Iamahaat fi Ushul Al-Hadits, Hal.11 )

Dengan demikian selama hadits itu shahih dari Rasulullah SAW, maka lmam Asy- Syafi’i akan  menerimanya.  Ketika ditanya tentang, sebagaimana  jawaban  beliau  ketika  ditanya  oleh  Sa’id bin Asad tentang  hadits ru’yah (salah satu hadits  ahad), beliau berkata,” Hai lbnu Asad, hukumlah aku, baik aku hidup atau mati, jika aku tidak mengikuti hadits shahih yang datang dari Rasulullah, sekalipun aku tidak mendengarnya langsung”. ( Manaaqib Asy-Syafi’i, I/421 )

Dengan demikian maka lmam Asy-Syafi’i mewajibkan menggunakan hadits Ahad dalam seluruh perkara agama, dengan tidak ada pembedaan baik da la m masalah aqidah atau lainnya. orang yang menolak hadits ahad tanpa alasan yang dibenarkan, merupakan satu kesalahan yang tidak bisa dimaafkan. ( Al-Risaalah, hal. 459-460 )

Kaidah kedua: Menghormati pemahaman sahabat dan mengikutinya.

lmam Asy-Syafi’i  berkata, “Selama  orang mendapati  Al-Qur’an dan As-Sunnah, maka tidak ada jalan lain baginya selain mengikutinya. Jika keduanya tidak ada, kita harus mengambil ucapan para sahabat atau salah satu dari mereka atau ucapan para imam seperti Abu Bakar, Umar dan Utsman. Ucapannya lebih patut diambil dari yang lainnya.

llmu itu bertingkat-tingkat, di antaranya:

  1. Al-Kitab dan As-Sunnah yang
  2. Ijma’ (konsensus/ kesepakatan) para ulama terhadap masalah yang tidak ada ayat atau
  3. Ucapan sebagian sahabat yang tidak ditentang oleh seorangpun dari
  4. lkhtilaf para sahabat dalam masalah tersebut.
  5. Qiyas terhadap sebagian tingkatan, tidak boleh mengambil selain Al-Kitab dan As-Sunnah selama keduanya ada, karena ilmu itu hanya diambil dari yang lebih ( Kitab Al-Umm, 5/265 )

Kenapa harus mengikuti sahabat?

lmam Syafi’i seperti yang dikutip oleh lmam Al-Baihaqi dalam Al-Risalah Al-Qadimah dari Al-Hasan bin Muhammad Az-Za’farani, lmam syafi’i berkata,” Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memuji para sahabat Rasulullah Shalalahu ‘alaihi wa Salam dalam Al-Qur’an, lnjil dan Taurat.

Kelebihan mereka disebutkan oleh Rasululah Shalalahu ‘alaihi wa Salam tidak dimiliki oleh seorangpun selain mereka. Mereka telah menyampaikan kepada kita sunnah Rasulullah. Telah mendampingi Rasululah Shalalahu ‘alaihi wa Salam dikala wahyu diturunkan, sehingga mereka mengetahui apa yang diinginkan oleh Rasulullah, baik yang umum maupun yang khusus, baik perintah, larangan, maupun bimbingan.

Mereka ( para sahabat ) telah mengetahui sunnah Rasululah, sehingga mereka lebih unggul baik dalam ilmu, ijtihad, kewara’an, maupun pikiran. Pendapat mereka lebih baik kita ambil dibandingkan dengan pendapat kita”.

Kaidah ketiga: Menjauhi pengikut hawa nafsu, pelaku bid’ah ahli kalam dan mencela mereka.

Bid’ah secara bahasa berarti mencipta dan mengawali sesuatu. Sedangkan menurut istilah, bidah berarti cara baru dalam agama (yang belum ada contoh sebelumnya) yang menyerupai syariah dan bertujuan untuk dijalankan dan berlebihan dalam beribadah kepada Alah Subhanahu wa Ta’ala. ( Kitab Al-‘Itisham, I/36 )

lmam Syafi’i membagi perkara baru menjadi dua:

  1. Perkara baru yang bertentangan dengan Al-Kitab dan As-Sunnah atau atsar (sahabat) dan ijma’. lni adalah bidah
  2. Perkara baru yang baik tetapi tidak bertentangan dengan Al-Kitab dan As-Sunnah atau atsar (sahabat) dan ijma’. lni adalah bidah yang tidak tercela.

lnilah yang dimaksud dengan perkataan lmam Syafi’i yang membagi bid’ah menjadi dua yaitu bid’ah mahmudah (terpuji) dan bid’ah mazmumah  (tercela/ buruk). Bidah yang sesuai dengan sunnah adalah terpuji dan baik, sedangkan yang bertentangan dengan sunnah ialah tercela dan buruk”. ( Hilyah al-Auliya’, 9/113, dan Al-Ba’its ‘ala Inkar Al-Bida’, Hal. 15 )

Hajr (meninggalkan) pelaku bid’ah menurut Imam Asy-Syafi’i

Para Salaf menasihatkan agar tidak banyak bergaul  dengan para pelaku   bid’ah. lmam Ad-Darimi meriwayatkan dalam sunannya dari Abu Qilabah, beliau berkata,” Janganlah kamu berteman dengan pengikut hawa nafsu dan janganlah kamu berdebat dengan mereka. susungguhnya aku khawatir kalau kamu akan masuk terperangkap ke dalam pemikiran sesatnya atau menjadi ragu tentang apa yang telah kamu yakini”. ( Sunan Ad-Darimi, 1/108 )

lmam Hasan Al-Bashri dan Muhammad bin Sirin juga berpesan,” Janganlah kamu berteman dengan pengikut hawa nafsu, dan jangan kamu berdebat dan mendengarkan mereka. Jangan berteman dengan pembuat bidah, karena akan membuat penyakit di kalbumu”. ( Al-Bida’ wa An-nahyu ‘anha, Ibnu Wadhdhah, hal. 47 )

lnilah juga mazhab lmam Syafi’i, bahkan beliau meninggalkan Bagdad dan pindah ke Mesir kerena munculnya aliran mu’tazilah yang telah berhasil mempengaruhi negara. Beliau berkata,”Saya tidak akan berdebat dengan seorangpun yang saya yakini bahwa ia tetap dalam kebid’ahannya”. ( Manaqib Asy-Syafi’i, Imam AL-Baihaqi, I/175 )

lmam  Asy-Syafi’i  bahkan  mengkafirkan sebagian pelaku bid’ah yang jelas-jelas sesat seperti orang yang mengatakan Al-qur’an adalah makhluk. Sebagaimana perkataan beliau kepada Hafs Al-Fard yang mengatakan bahwa Al-Qur’an adalah makhluk. lmam Syafi’i berkata,” Engkau telah kafir kepada Allah Subhanahu waTa’ala”. ( Ibid, I/407 )

lmam Asy-Syafi’i  juga berkata,” Jika engkau melihat pengikut hawa nafsu terbang, aku tidak akan percaya kepadanya. sungguh benar perkataan seorang penyair: “Bila engkau melihat orang bisa terbang, dan berjalan di atas lautan, tetapi ia melanggar batas syariah. Maka, ia adalah orang yang diistidraj dan ia adalah pelaku bid’ah”. ( Ibid, I/407 )

AQIDAH IMAM ASY-SYAFI’i DALAM MASALAH IMAN

Al-Baihaqi meriwayatkan dengan sanadnya dari Rabi’ bin Sulaiman Al-Muradi, ia berkata,”Saya mendengar lmam Asy-Syafi’i berkata,”lman adalah ucapan dan perbuatan, ia bertambah dan berkurang”. ( AL-Manaqib, I/385 )

Di antara dalil yang digunakan oleh lmam Asy-Syafi’i adalah firman Alah Subhanahu wa Ta’ala:

وَيَزْدَادَ ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ إِيمَٰنًا

wa yazdādal-lażīna āmanū īmānna.

“Supaya orang yang beriman bertambah imannya.” (Q.S. Al-Mudatsir: 31)

Juga firman Alah Subhanahu wa Ta’ala:

اِنَّمَا الْمُؤْمِنُوْنَ الَّذِيْنَ اِذَا ذُكِرَ اللّٰهُ وَجِلَتْ قُلُوْبُهُمْ وَاِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ اٰيٰتُهٗ زَادَتْهُمْ اِيْمَانًا وَّعَلٰى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُوْنَۙ

Innamal-mu’minūnal-lażīna iżā żukirallāhu wajilat qulūbuhum wa iżā tuliyat ‘alaihim āyātuhū zādathum īmānaw wa ‘alā rabbihim yatawakkalūn(a).

Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah mereka yang jika disebut nama Allah, gemetar hatinya dan jika dibacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, bertambah (kuat) imannya dan hanya kepada Tuhannya mereka bertawakal, ( Surat Al Anfal : 2)

Baca juga firman Alah Subhanahu wa  Ta’ala  di surat At-Taubah: 124.

وَاِذَا مَآ اُنْزِلَتْ سُوْرَةٌ فَمِنْهُمْ مَّنْ يَّقُوْلُ اَيُّكُمْ زَادَتْهُ هٰذِهٖٓ اِيْمَانًاۚ فَاَمَّا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا فَزَادَتْهُمْ اِيْمَانًا وَّهُمْ يَسْتَبْشِرُوْنَ

Wa iżā mā unzilat sūratun fa minhum may yaqūlu ayyukum zādathu hāżihī īmānā(n), fa ammal-lażīna āmanū fa zādathum īmānaw wa hum yastabsyirūn(a).

Apabila diturunkan suatu surah, di antara mereka (orang-orang munafik) ada yang berkata, “Siapakah di antara kamu yang bertambah imannya dengan (turunnya) surah ini?” Adapun (bagi) orang-orang yang beriman, (surah yang turun) ini pasti menambah imannya dan mereka merasa gembira.

Adapun hadits Rasululah Shalalahu ‘alaihi wa Salam adalah sebagaimana yang diriwayatkan dari Abu Hurairah, Rasululah Shalalahu ‘alaihi wa Salam bersabda:

الْإِيمَانُ بِضْعٌ وَسَبْعُونَ أَوْ بِضْعٌ وَسِتُّونَ شُعْبَةً فَأَفْضَلُهَا قَوْلُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَدْنَاهَا إِمَاطَةُ الْأَذَى عَنْ الطَّرِيقِ وَالْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنْ الْإِيمَانِ

Artinya,” Iman itu terdiri dari tujuh puluh lebih cabang atau enampuluh lebih cabang. Yang paling tinggi ialah ucapan La Ilaaha Illallah, sedang yang paling rendah adalah menyingkirkan duri (sesuatu yang mengganggu) dari jalan dan malu adalah sebagian dari iman”, (HR.Bukhari dan Muslim).

Pendapat lmam  Asy-Syafi’i ini sesuai dengan pendapat para sahabat, tabi’in, dan lainnya, sebagaimana perkataan Umar bin Khattab kepada teman-temannya,” Mari kita menambah keimanan kita”. Kemudian mereka berzikrulah. ( Al-Syari’ah, hal. 112 )

Pengecualian Dalam Iman

Syaikhul lslam lbnu Taimiyah berkata,”Yang dimaksud dengan pengecualian dalam masalah iman adalah seperti seorang berkata,”Saya seorang mukmin, lnsya’ Allah Subhanahu wa  Ta’a la”.

Tentang masalah ini para ulama berselisih pendapat: ada yang mewajibkannya, ada yang mengharamkannya dan ada yang membolehkannya dan inilah pendapat yang paling shahih”( Kitab Al-Iman, hal. 140 ).

Dan pendapat inilah yang diambil oleh lmam Asy- Syafi’i  sebagaimana  yang disebutkan  oleh  lmam Abu Al- Baqa’ Al-Futuhy,”  Boleh mengaku beriman  dengan pengecualian seperti seorang mengatakan,”Saya beriman lnsya’ Allah Subhanahu wa Ta’ala”,  pendapat ini ditegaskan oleh lmam Ahmad, lmam Asy-Syafi’i dan diriwayatkan dari lbnu Mas’ud”( Syarah Al-Kaukabul Munir,hal. 417).

Perbedaan Antara Islam dan Iman

lni adalah masalah yang diperselisihkan oleh para ula ma. Pendapat mereka terbagi menjadi tiga golongan;

  1. lslam dan lman adalah satu, yang berpendapat seperti ini adalah lmam Al-Bukhari ( Lihat Fathul Bari, I/ 55 ), lmam Muh. bin Nashir Al-Marwadzi ( lihat Ta’zim Qadri Al-Sunnah, II/506-575 ) ,lmam lbnu Mandah ( Lihat Al-Iman, I/321 ).
  2. lman dan lslam adalah dua hal yang berbeda. lmam Az-Zuhri berkata,”lslam adalah kalimat atau ucapan, sedangkan iman adalah amal”. Abdul Malik Al-Maimuni bertanya kepada lmam Ahmad, apakah iman dan lslam berbeda?, beliau menjawab,”Ya”, berdasarkan  firman Allah Subhanahu  wa Ta’ala surat Al-Hujarat: 14
  3. Syaikhul lslam lbnu Taimiyah, Al-Khattabi dan lbnu Rajab menyebutkan bahwa apabila iman dan lslam disebut secara terpisah maka keduanya bermakna sama, namun bila disebutkan bersamaan maka keduanya terdapat lman adalah pengakuan dan keyakinan hati dan pengamalannya sedangkan lslam adalah ketundukan yang tercermin dalam amal.

Berdasarkan beberapa perkataan Imam Syafi’i, maka beliau termasuk yang berpendapat iman dan lslam bermakna satu dan tidak ada perbedaan antara keduanya.

HUKUM PELAKU DOSA BESAR DAN PENGARUHNYA PADA IMAN

Ahlussunnah waljama’ah memiliki sikap pertengahan antara sikap Khawarij dan Mu’tazilah yang berlebih-lebihan dan sikap Khawarij yang longgar. Khawarij berpendapat bahwa orang lslam yang melakukan dosa besar (al-kabirah) menjadi kafir jika tidak bertaubat dan akan kekal di neraka.

Mu’tazilah mengatakan mereka akan kekal di neraka dan didunia berada di antara dua posisi yaitu tidak kafir dan tidak mukmin (manzilah bainal manzilatain).

Sementara Khawarij mengatakan bahwa orang yang mengucapkan syahadat telah sempurna imannya dan setiap mukmin masuk surga. Dosa tidak berpengaruh terhadap iman sebagaimana ketaatan tidak bermanfaat bersama kekufuran. ( Lihat Al-Tafsil fi Al-Fashl, Ibnu Hazm, III/ 229-247 )

Adapun Ahlussunnah mereka berpendapat bahwa dosa besar yang dilakukan seorang mukmin tidak mengeluarkannya dari iman. Bila mereka meninggal sebelum bertaubat, maka ia akan disiksa di neraka namun tidak kekal, bahkan urusan mereka diserahkan kepada Allah, apakah Allah SubhanahuwaTa’ala menyiksanya atau berkenan mengampuninya ( Lihat Syarhu As-Sunnah, Imam Al-Bagawi, I/103). Mereka berdalil dengan firman Alah Subhanahu wa Ta’ala,”

اِنَّ اللّٰهَ لَا يَغْفِرُ اَنْ يُّشْرَكَ بِهٖ وَيَغْفِرُ مَا دُوْنَ ذٰلِكَ لِمَنْ يَّشَاۤءُ ۚ وَمَنْ يُّشْرِكْ بِاللّٰهِ فَقَدِ افْتَرٰٓى اِثْمًا عَظِيْمًا

Innallāha lā yagfiru ay yusyraka bihī wa yagfiru mā dūna żālika limay yasyā'(u), wa may yusyrik billāhi fa qadiftarā iṡman ‘aẓīmā(n).

Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni (dosa) karena mempersekutukan-Nya (syirik), tetapi Dia mengampuni apa (dosa) yang selain (syirik) itu bagi siapa yang Dia kehendaki. Siapa pun yang mempersekutukan Allah sungguh telah berbuat dosa yang sangat besar. (Surat An Nisa ayat 49 )

اِنَّ اللّٰهَ لَا يَغْفِرُ اَنْ يُّشْرَكَ بِهٖ وَيَغْفِرُ مَا دُوْنَ ذٰلِكَ لِمَنْ يَّشَاۤءُ ۗ وَمَنْ يُّشْرِكْ بِاللّٰهِ فَقَدْ ضَلَّ ضَلٰلًا ۢ بَعِيْدًا

Innallāha lā yagfiru ay yusyraka bihī wa yagfiru mā dūna żālika limay yasyā'(u), wa may yusyrik billāhi faqad ḍalla ḍalālam ba‘īdā(n).

Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni (dosa) karena mempersekutukan-Nya (syirik), tetapi Dia mengampuni apa (dosa) yang selain (syirik) itu bagi siapa yang Dia kehendaki. Siapa pun yang mempersekutukan Allah sungguh telah tersesat jauh. (Surat An Nisa ayat 116 )

Mafhumnya, setiap dosa yang selain dosa syirik berada dalam masyi’ah (kehendak) Alah. jika Allah Subhanahu wa Ta’ala menghendaki untuk mengampuninya, maka Allah SWT akan mengampuninya sekalipun pelakunya tidak bertaubat. Sebaliknya bila Allah SWT menghendaki untuk menghukumnya,maka Allah SubhanahuwaTa’ala akan menyiksanya.

Ucapan Imam Asy-Syafi’i tentang dosa-dosa besar selain syirik

lmam Asy-Syafi’i berpendapat bahwa ahlul qiblat (kaum mukminin) yang berbuat dosa besar berada di bawah masi’ah Alah. Beliau berkata,” Orang yang lari pada saat pertempuran bukan karena ingin bersiasat dalam menghadapi musuh atau bukan karena ingin bergabung dengan pasukan lain, maka saya khawatir ia mendapat murka Allah, kecuali Allah Subhanahu wa Ta’ala memaafkannya ( Al-Umm, 4/169, Manaaqib Asy-Syafi’i oleh AL-Baihaqi, 1/328 ).

Beliau juga berkata,” Dan Alah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan akherat sebagai tempat tinggal abadi dan balasan atas amal-amal kebaikan dan kejahatan di dunia jika Allah SWT tidak mengampuninya.( Ibid, 4/122 )

Pendapat lmam Asy-Syafi’i di atas didasarkan pada nash-nash al-Qur’an dan sunnah di antaranya firman Alah Subhanahu wa Ta’ala :

وَاِنْ طَاۤىِٕفَتٰنِ مِنَ الْمُؤْمِنِيْنَ اقْتَتَلُوْا فَاَصْلِحُوْا بَيْنَهُمَاۚ فَاِنْۢ بَغَتْ اِحْدٰىهُمَا عَلَى الْاُخْرٰى فَقَاتِلُوا الَّتِيْ تَبْغِيْ حَتّٰى تَفِيْۤءَ اِلٰٓى اَمْرِ اللّٰهِ ۖفَاِنْ فَاۤءَتْ فَاَصْلِحُوْا بَيْنَهُمَا بِالْعَدْلِ وَاَقْسِطُوْا ۗاِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِيْنَ

Wa in ṭā’ifatāni minal-mu’minīnaqtatalū fa aṣliḥū bainahumā, fa im bagat iḥdāhumā ‘alal-ukhrā fa qātilul-latī tabgī ḥattā tafī’a ilā amrillāh(i), fa in fā’at fa aṣliḥū bainahumā bil-‘adli wa aqsiṭū, innallāha yuḥibbul-muqsiṭīn(a).

Jika ada dua golongan orang-orang mukmin bertikai, damaikanlah keduanya. Jika salah satu dari keduanya berbuat aniaya terhadap (golongan) yang lain, perangilah (golongan) yang berbuat aniaya itu, sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah. Jika golongan itu telah kembali (kepada perintah Allah), damaikanlah keduanya dengan adil. Bersikaplah adil! Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bersikap adil. (Surat Al-Hujurat :9).

lmam Asy-Syafi’i berkata,” Pada ayat ini Allah Subhanahuwa Ta’ala menyebutkan peperangan antara dua golongan, namun tetap dinamakan mukminin dan menyuruh untuk didamaikan dst”( ibid, 4/214 ).

Hukum Meninggalkan Shalat

lmam Asy-Syafi’i berpendapat bahwa orang yang meninggalkan shalat karena malas harus disuruh taubat, bila tidak mau dia boleh dibunuh karena had (hukuman) bukan karena ia murtad dan sudah menjadi kafir ( 30 ibid, 1/208 ).

Pendapat beliau ini bertentangan dengan pendapat Mayoritas ulama baik salaf maupun khalaf yang mengatakan mereka dibunuh karena ia kafir ( Nailul Authar, Al-Syaukani, 1/376 )

Hukum Sihir dan Penyihir

Mengenai masalah sihir dan tukang sihir, lmam Syafi’i memberikan perincian, beliau berkata,” Jika seorang belajar sihir, maka tanyalah ia apakah sihirnya itu?”. Bila sihirnya berisi hal-hal yang menjadikannya kafir seperti meminta bantuan kepada jin dan binatang, maka ia kafir. Bila ia hanya menggunakan bau-bauan (kemenyan) maka tidak kafir tapi sangat diharamkan. Dan bila ia mengakui sihir itu dibolehkan, maka ia juga kafir.Jika tidak menyakini itu boleh maka ia tidak kafir.( Al-Umm, 1/256-257 )

Tauhid Uluhiyah

Tauhid uluhiyah menurutlmam Asy-Syafi’i adalah,” Mengesakan Allah SWT dalam ibadah, dan ini merupakan hakekat Tauhid. Dan untuk itulah manusia diciptakan, sebagaimana firman Alla h SubhanahuwaTa’ala : ”Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia, melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku”, (QS. Adz-Dzaariyat: 56).

Juga firman Allah SubhanahuwaTa’ala dalam Surat Al Qiyamah ayat 36 :

اَيَحْسَبُ الْاِنْسَانُ اَنْ يُّتْرَكَ سُدًىۗ

Ayaḥsabul-insānu ay yutraka sudā(n).

Apakah manusia mengira akan dibiarkan begitu saja (tanpa pertanggungjawaban)?

lmam Asy-Syafi’i berkata,” Para ulama tafsir sepakat bahwa yang dimaksud dengan suda dalam ayat ini adalah tidak diperintah dan tidak dilarang”.( Kitab Al-Risalah, hal. 25 )

Beberapa Masalah Tentang Kubur

1.Talqin

Tidak ada keterangan dari lmam Asy-Syafi’i tentang masalah talqin. yang menganjurkan talqin adalah ulama-ulama Syafi’iyah seperti al-Qadhi Husain, Al-Mutawali, Al-Rafi’i dan lainnya.

Mereka berdalil dengan hadits Hadits Umamah yang diriwayatkan oleh Al-Thabrani. Namun hadits tersebut dhaif.( Al-Majmu’, Imam An-Nawawi, 5/304 )

Syaikh Al- Albani menyebutkan di antara sebab lemahnya adalah karena dalam sanadnya ada Al-Azdi atau Al-Audi yang tidak tsiqah dan dia majhul.( Irwa’ Al-Ghalil, 3/203-204 )

2.Meratakan Kuburan

lmam Asy-Syafi’i berkata,”Aku menyukai kalau tanah kuburan itu sama (diratakan) dari yang lain, dan tidak mengapa jika ditambah sedikit saja sekitar satu jengkal”.( Syarah Shahih Muslim, An-Nawawi, 2/666 )

3.Membangun kuburan dan duduk di atasnya

lmam Asy-Syafi’i berkata,”Aku suka jika kuburan itu tidak dibangun dan disemen, karena hal itu merupakan bentuk perhiasan dan kebanggaan. Saya juga tidak suka kuburan itu diinjak, diduduki atau dijadikan sandaran. Beliau berdalil dengan Sabda Nabi,” Seseorang duduk di atas bara api sehingga pakaian dan kulitnya terbakar, lebih baik baginya daripada duduk di atas kuburan seorang muslim”.(HR.Muslim)

4. Ziarah kubur

lmam Asy-Syafi’i berkata,” Dan boleh melakukan ziarah kubur. Dalam ziarah kubur, janganlah mengucapkan kata-kata kotor yaitu mendoakan jelek kepada mayit dan meratapinya.Tetapi beristigfarlah untuk si mayit”.( ibid, 1/278)

Ziarah kubur khusus untuk laki-laki dan Wanita tidak boleh me lakukannya berdasarkan hadits Abu Hurairah, bahwasanya Allah SWT melaknat wanita -wanita yang menziarahi kubur”.

Hadits ini diriwayatkan oleh lmam Ahmad (2/337- 356),lmam At-Tirmidzi no.1056, lbnu Majah, no.1576. Tirmidzi mengatakan,”Hadits ini hasan shahih dan memiliki syawahid (penguat) di antaranya adalah:

  • Sanad dari Hassan pada riwayata Ahmad (3/442- 443),lbnu Majah (1574).
  • Dari lbnu Abbas pada Ahmad (1/229), Abu Daud (3236), At-Tirmidzi (320), AN-Nasa’i (4/94-95) dan lbnu Majah (1575).
  • Karena banyak jalurnya, maka hadits ini shahih.

lmam An-Nawawi berkata,” Adapun jika tujuannya (ziarahkubur) untuk mendo’akan si mayit atau mengambil ibrah (pelajaran) darinya, maka itu bisa dilakukannya di rumahnya”.( Al-Majmu’, Imam An-Nawawi, 5/309-311 )

5. Syafaat

Syafaat artinya memohon kepada Allah SWT agar Dia mengampuni dosa dan kesalahan orang lain yang diberi syafaat. Syafaat di bagi dua yaitu:

a. Syafaat yang diakui oleh agama dan bermanfaat bagi pelakunya, yaitu syafaat yang memiliki dua syarat yaitu:

  • Si pemberi syafaat mendapat izin dari Alah Subhanahu wa Ta’ala untuk memberi syafaat, lihat al-Qur’an surat Al-Baqarah: 255, Yunus:3.
  • Orang yang diberi syafaat mendapat ridha dari Alah Subhanahu wa Ta’ala lihat al-Qur’an surat An-Najm: 26, Al-Anbiya’: 28.

b. Syafaat yang tidak diakui oleh agama dan tidak bermanfaat bagi pelakunya karena tidak memenuhi syarat di atas.

6.Ruqyah

lmam Asy-Syafi’i membolehkan ruqyah dengan syarat diambil dari kitabulaah atau zikrulah.( Al-Umm, 7/228 )

Tauhid Rububiyah

Metode Salaf Dalam Menegakkan Dalil Tentang Wujud Allah Subhanahu wa Ta’ala

1. Fithrah, Allah SWT berfirman,” Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah); (tetaplah atas) fitrah Allah Subhanahu wa Ta’alaang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu.Tidak ada perubahan pada fitrah Allah.(Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”. (QS. 30:30).

Rasululah Shalalahu ‘alaihi wa Salam bersabda,” Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah, maka kedua orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nashrani dan Majusi”, (HR.Bukhari dan Muslim).

2. Melalui ayat-ayat kauniyah, yaitu adanya alam semesta menunjukkan adanya Alah Subhanahu wa Ta’ala yang Maha Pencipta.

3. Melalui dalil ‘inayah yaitu dalil yang masih termasuk di bawah ayat-ayat yang membuktikan keesaan Alah Subhanahu wa Ta’ala , misalnya firman Alah Subhanahu wa Ta’ala,” Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa al-Qur’an itu benar.Dan apakah Rabbmu tidak cukup (bagi kamu) bahwa sesungguhnya Dia menyaksikan segala sesuatu”, (QS. 41:53).

Metode Imam Asy-Syafi’i Dalam Menegakkan Dalil Tentang Wujud Allah SWT

lmam Asy-Syafi’i bercerita,” Telah berjumpa denganku tujuh belas orang Dzindiq di jalan menuju Ghazah. Mereka bertanya,”Apa bukti adanya Pencipta?”. Aku berkata,”Jika aku mengemukakan bukti yang memuaskan apakah kalian mau beriman?”.

Mereka menjawab,”Ya”.

Aku katakan,”Daun pohon At-Tut, rasanya, warnanya dan baunya sama. Dimakan oleh ulat yang keluar dari perutnya adalah benang sutera. Dimakan oleh lebah yang keluar adalah madu. Dimakan oleh ka mbing yang keluar adalah kotoran. Yang dimakan adalah satu jenis maka yang keluar seharusnya juga satu jenis.Tetapi perhatikanlah bagaimana keadaan itu berubah, niscaya itu adalah perbuatan Pencipta Alam yang Maha Kuasa untuk merubah semuanya”.

Beliau juga berkata,” Anda melihat sebuah benteng yang kokoh, tidak memiliki pintu dan celah. Anda me lihat dindingnya retak, dan tiba-tiba keluar binatang yang bisa me lihat dan bersuara. Anda sadar ala m tidak akan ma mpu me lakukannya tetapi Allah SWT bisa menciptakannya. Benteng tersebut adalah telur dan binatang tersebut adalah anak ayam” ( Mufid Al-Ulum, hal. 26 riwayat seperti ini juga dari Ahmad, lihat Aqidah al- Muslimin, Al-Baihaqi, 1/124 ).

Baca juga : Berkenalan Dengan Imam Muslim, Penyusun Hadits Terbaik Kedua setelah Imam Bukhari

Tauhid Asma dan Shifat

Manhaj Ahlussunnah wal Jama’ah dalambab Asma’ (nama) dan sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala, yaitu mensifatkan Allah SWT dengan sifat- sifat yang telah ditetapkan-Nya untuk diri-Nya atau yang ditetapkan oleh Rasululah Shalalahu ‘alaihi wa Salam tanpa ta’wil, takyif (menanyakan bagaimana), tamtsil (mengumpamakan) dan tasybih (menyerupakan), berdasarkan firman Allah SWT:

لَيْسَ كَمِثْلِهٖ شَيْءٌ ۚوَهُوَ السَّمِيْعُ الْبَصِيْرُ

laisa kamiṡlihī syai'(un), wa huwas-samī‘ul-baṣīr(u).

Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya. Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat. ( Surat Asy-Syura : 11 )

Sebagai salah satu dari ulama salaf, lmam Asy-Syafi’i sangat dengan manhaj salaf dalam masalah ini.

Hal ini terlihat di antaranya sebagaimana di awal khutbah kitabnya al-Risalah, beliau berkata,” Segala puji bagi Allah SWT sebagaimana Dia mensifati diri-Nya dan atas apa yang disifatkan untuk-Nya oleh makhluk-Nya”.( Al-Risalah, hal. 7-8 )

Di antara Sifat-Sifat Allah SWT

1. sifat Al-’Uluw (ketinggian)

Al-’Uluw adalah sifat Dzatiah yang tidak terpisah dari Allah SWT yaitu Dia bersifat tinggi di atas makhluk-Nya, dan Dia berada di Arsy-Nya di langit, sebagaimana firman Allah SWT,

ءَاَمِنْتُمْ مَّنْ فِى السَّمَاۤءِ اَنْ يَّخْسِفَ بِكُمُ الْاَرْضَ فَاِذَا هِيَ تَمُوْرُۙ

A’amintum man fis-samā’i ay yakhsifa bikumul-arḍa fa’iżā hiya tamūr(u).

Sudah merasa amankah kamu dari Zat yang di langit, yaitu (dari bencana) dibenamkannya bumi oleh-Nya bersama kamu ketika tiba-tiba ia terguncang? ( Surat Al-Mulk Ayat 16 )

Baca juga surat Fathir: 10, An-Nahl:50, Ali lmran: 55, Al-A’la:1, Al-Ma’arij:4, dll.

2. Istiwa’ (bersemayam)

Istiwa’ adalah sifat fi’liyah yang tetap bagi Allah SWT, yaitu Dia bersemayam di atas Arsy, sebagaimana firman-Nya,

اِنَّ رَبَّكُمُ اللّٰهُ الَّذِيْ خَلَقَ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضَ فِيْ سِتَّةِ اَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوٰى عَلَى الْعَرْشِۗ يُغْشِى الَّيْلَ النَّهَارَ يَطْلُبُهٗ حَثِيْثًاۙ وَّالشَّمْسَ وَالْقَمَرَ وَالنُّجُوْمَ مُسَخَّرٰتٍۢ بِاَمْرِهٖٓ ۙاَلَا لَهُ الْخَلْقُ وَالْاَمْرُۗ تَبٰرَكَ اللّٰهُ رَبُّ الْعٰلَمِيْنَ

Inna rabbakumullāhul-lażī khalaqas-samāwāti wal-arḍa fī sittati ayyāmin ṡummastawā ‘alal-‘arsy(i), yugsyil-lailan-nahāra yaṭlubuhū ḥaṡīṡā(n), wasy-syamsa wal-qamara wan-nujūma musakhkharātim bi’amrih(ī), alā lahul-khalqu wal-amr(u), tabārakallāhu rabbul-‘ālamīn(a).

Sesungguhnya Tuhanmu adalah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, kemudian Dia bersemayam di atas ʻArasy. Dia menutupkan malam pada siang yang mengikutinya dengan cepat. (Dia ciptakan) matahari, bulan, dan bintang-bintang tunduk pada perintah-Nya. Ingatlah! Hanya milik-Nyalah segala penciptaan dan urusan. Maha berlimpah anugerah Allah, Tuhan semesta alam. ( Surat  Al-A’raf : 54 )

Baca juga firman Allah SWT surat Yunus: 3, Al-Rad: 2, Thaha: 5, Al-Furqan: 59, As-Sajdah: 4, Al-Hadid:4.

3. An-Nuzul (Turun)

An-Nuzul termasuk di antara sifat Khabariyah fi’liyah yaitu Allah SWT turun ke langit dunia pada setiap malam, sebagaimana dalam hadits riwayat Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah.

lmam Asy-Syafi’i berkata,” Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala di atas Arsy-Nya mendekat kepada makhluk-Nya menurut bagaimana yang Dia kehendaki dan sesungguhnya Alah SubhanahuwaTa’ala turun ke langit dunia menurut bagaimana yang Dia kehendaki”.( Ijtima’ Juyuus Islamiyah, hal. 94 dan Mukhtashar Al-Uluw, hal. 176 )

4. Sifat al-Yadd (tangan)

al-Yadd (tangan) termasuk di antara sifat dzatiyah Khabariyah yaitu Allah SWT memiliki tangan, sebagaimana firman-Nya,

قَالَ يٰٓاِبْلِيْسُ مَا مَنَعَكَ اَنْ تَسْجُدَ لِمَا خَلَقْتُ بِيَدَيَّ ۗ اَسْتَكْبَرْتَ اَمْ كُنْتَ مِنَ الْعَالِيْنَ

Qāla yā iblīsu mā mana‘aka an tasjuda limā khalaqtu biyadayy(a), astakbarta am kunta minal-‘ālīn(a).

(Allah) berfirman, “Wahai Iblis, apakah yang menghalangimu untuk bersujud kepada yang telah Aku ciptakan dengan kedua tangan-Ku (kekuasaan-Ku)? Apakah kamu menyombongkan diri ataukah (memang) termasuk golongan yang (lebih) tinggi?” ( Surat Shaad [38]: 75 )

Baca juga firman Allah SWT di Al-Maidah: 64 dan AL-Fath:10.

5. Sifat al-wajh (wajah)

Lihat firman Allah Subhanahu wa Ta’ala surat Al-Qashash: 88, Al-Rahman: 27 dl.

6. Sifat al-Qadam (kaki)

Rasulullah SAW bersabda,” Kemudian Alah Subhanahu wa Ta’alaang Maha Perkasa meletakkan kaki-Nya padanya (neraka), dan ketika itu barulah ia penuh dan saling berdekatan dengan yang lainnya dan berkata,”Cukup, cukup”, (HR.Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah).

Baca juga : Doa Penutup Acara Majelis Taklim dan Dzikir Lengkap dengan Arab, latin dan artinya

7. Sifat tertawa

Rasululah Shalalahu ‘alaihi wa Salam bersabda,” Alah tertawa kepada dua orang yang salah satunya membunuh yang lainnya dan mereka berdua masuk surga. Yang satunya berperang di jalan Allah kemudian terbunuh, dan Allah menerima taubat dari pembunuh dan masuk lslam dan ia juga mati syahid”. (HR.Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah).

8.Sifat al-Ashaabi’(jari-jemari)

Rasullullah SAW bersabda,” Tidak ada satu hatipun kecuali berada di antara dua jari di antara jari- jemari Al-Rahman”.(Thabaqat Ibnu Abi Ya’la, I/284, dan Majmu’ Fatawa, 4/182).

9.Sifat al-’Ain (mata)

Allah SWT berfirman,” dan supaya kamu diasuh di bawah pengawasan-Ku”, (QS. 20:39).

juga firman SWT surat Al-Qamar: 14, Huud:37, Ath- Thur:48.

10.Sifat Al-’ilmu

Allah SWT berfirman,

لٰكِنِ اللّٰهُ يَشْهَدُ بِمَآ اَنْزَلَ اِلَيْكَ اَنْزَلَهٗ بِعِلْمِهٖ ۚوَالْمَلٰۤىِٕكَةُ يَشْهَدُوْنَ ۗوَكَفٰى بِاللّٰهِ شَهِيْدًاۗ

Lākinillāhu yasyhadu bimā anzala ilaika anzalahū bi‘ilmih(ī), wal-malā’ikatu yasyhadūn(a), wa kafā billāhi syahīdā(n).

Akan tetapi, Allah bersaksi atas apa (Al-Qur’an) yang telah diturunkan-Nya kepadamu (Nabi Muhammad). Dia menurunkannya dengan ilmu-Nya. (Demikian pula) para malaikat pun bersaksi. Cukuplah Allah menjadi saksi. ( Surat An Nisaa :166 )

lihat juga firman Allah SWT surat At-Taubah: 78, Al-Ahzab: 54 dll.

Aqidah Imam Asy-Syafi’i Dalam Masalah Asma dan shifat

Rabi’ bin Sulaiman berkata,”Aku bertanya kepada Asy- Syafi’i tentang sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala ”.

Beliau berkata,” Terlarang untuk akal mengumpa makan Allah Subhanahu wa Ta’ala, untuk dugaan memberi batasan pada-Nya, untuk yang sangkaan memastikan, jiwa yang memikirkan, hati kecil yang mendalami-Nya, lintasan batin untuk merenungi-Nya dan selain apa yang disifatkan-Nya untuk diri-Nya melalui lisan Nabi-Nya.( Majmu’ Fatawa, 4/6.)

Seputar Kenabian dan Kematian

1. Iman Kepada Para Nabi

Maksudnya adalah tashdiq (pembenaran) terhadap kenabian semua Nabi yang diceritakan oleh Alah Subhanahu wa Ta’ala, dan membenarkan apa yang mereka sampaikan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala, iman terhadap nama-nama mereka, sifat-sifat mereka, dan pembenaran secara umum tanpa mengingkarinya.

lmam Asy-Syafi’i berkata,” Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan Nabi sebagai makhluk pilihan di antara makhluk-makhluk-Nya, dan menitipkan amanah wahyu untuk disampaikan dan menegakkan hujjah kepada manusia.( Al-Umm, 4/159 )

2. Kematian

Diriwayatkan dari AL-Baihaqi dari lmam Asy-Syafi’i beliau berkata,” Adzab kubur itu benar adanya dan pertanyaan yang diajukan kepada penghuni kubur juga benar adanya”.( Manaqib Asy-Syafi’i, 1/415-416 )

3. Menghadiahkan Pahala Amal Kepada Mayit

Kalangan Ahlussunnah wal Jamaah sepakat bahwa orang yang telah mati dapat menerima manfaat dari usaha orang yang hidup dalam dua hal:

  1. Hasil usaha mayit ketika hidup yang dapat memberikan manfaat kepada orang lain.
  2. Amal shalih orang yang masih hidup apabila dilakukan sebagai taqarrub kepada Alah Subhanahu wa Ta’ala kemudian diberikan kepada mayit, akan sampai namun terjadi perbedaan pada sebagian ibadah.( Syarah Aqidah Al-Thahawiyah, hal. 452 )

lmam Asy-Syafi’i dan lmam Malik berpendapat bahwa tidak sampai kepada mayit kecuali apa yang diterangkan oleh dalil tentang pengesahan untuk memberikan hadiah kepada mayit yaitu berbentuk doa, shadaqah, haji dan umrah.

Adapun diluar itu tidak sampai kepadanya dan tidak pula disyariatkan perbuatannya dengan niat memberikan hadiah. ltulah pendapat yang masyhur (populer) dari mazhab lmam Asy-Syafi’i dan lmam Malik.( Syarah Aqidah Al-Thahawiyah, hal. 452 dan Al-Majmu’, Imam An-Nawawi,15/521 )

Adapun dalilnya adalah:

  1. Sabda Rasulullah,”Apabila mati anak Adam, maka terputuslah amal perbuatannya kecuali tiga hal; shadaqah jariyah, anak shaleh yang mendo’akannya dan ilmu yang bermanfaat baginya sepeninggalnya”, (HR. Muslim dari Abu Hurairah).
  2. Hadits Aisyah tentang seorang pria yang datang kepada Rasulullah SAW dan berkata,”Wahai Rasululah! Sesungguhnya ibuku telah meniggal dunia secara mendadak dan tidak sempat berwasiat, saya kira seandainya ia sempat berbicara niscaya akan bershadaqah, adakah baginya pahala jika saya bershadaqah untuknya?. Rasululah Shalalahu ‘alaihi wa Salam menjawab,”Ya”. (HR.Bukhari dan Muslim).
  3. Hadits lbnu Abbas yang menceritakan bahwa seorang wanita dari Juhainah telah datang menghadap Nabi dan berkata,” lbuku telah bernadzar untuk melaksanka ibadah haji tetapi belum sempat melaksanakan ia telah meninggal dunia, bolehkah aku melaksanakan haji untuknya?. Nabi bersabda,” Berhajilah untuknya! bagaimana menurutmu kalau ibumu memiliki hutang, haruskah engkau melunasinya?. Hutang kepada Alah Subhanahu wa Ta’ala lebih berhak untuk dilunasi (HR.Bukhari).
  4. Rasululah Shalalahu ‘alaihi wa Salam bersabda,”Barangsiapa yang meninggal dunia masih memiliki kewajiban puasa, maka hendaklah walinya berpuasa untuknya”. (HR.Bukhari dan Muslim dari Aisyah).

lmam Asy-Syafi’i berkata,” Disampaikan pahala kepada si mayit dari tiga amalan orang lain; haji yang dilaksanakan untuknya, harta yang dishadaqahkan atau dilunasi untuknya, dan doa.Adapun shalat dan puasa, itu hanya milik pelaku dan tidak sampai kepada mayit.

Berbeda dengan harta, sesungguhnya seorang mempunyai kewajiban untuk memenuhi apa -apa yang pada harta itu terdapat hak Allah SWT yang berupa zakat dan lainnya, karena itu memadai bila dilaksanakan oleh orang lain atas perintahnya.

Adapun doa, sesungguhnya Allah SWT telah menganjurkan hamba-hamba-Nya untuk melakukannya dan meminta Rasululah Shalalahu ‘alaihi wa Salam untuk melaksanakannya. Maka, apabila dibolehkan berdoa untuk saudara yang masih hidup, berarti boleh pula berdoa untuk yang telah mati. Dan lnsya’ Allah SWT keberkahan akan sampai kepadanya, di samping Allah SWT Maha Luas rahmat-Nya untuk memenuhi pahala orang hidup dan menyertakan si mayit dalam kemanfaatannya. Demikian pula setiap kali seseorang bertathawwu’ (shadaqah sunnah) untuk orang lain melalui sedekah tathawwu’ “( Al-Umm, 4/120, Manaaqib Asy-Syafi’i, 1/431 ).

Adapun aqidah beliau dalam masalah-masalah di hari kiamat, sebagaimana aqidah salaf yang lain. Beriman kepada kebangkitan, pembalasan, pemeriksaan, hisab, pembacaan tulisan, pahala, siksaan, titian, neraka dan surga, yang merupakan dua makhluk yang tidak akan musnah selamanya ( Syarah Al-Thahawiyah, hal. 404-405 ).

Aqidah Imam Asy-Syafi’i Seputar Sahabat

lmam Asy-Syafi’i berkata,” Allah SWT telah memuji para sahabat Rasulullah SAW di dalam Al-Qur’an, taurat dan injil. Keutamaan mereka telah disampaikan oleh Rasululah, sesuatu yang tidak dimiliki oleh orang selain mereka.

Maka Allah SWT menyayangi mereka dan menempatkan mereka setinggi-tinggi derajat, yaitu derajat orang-orang yang jujur,syuhada’ dan orang- orang yang shalih. Merekalah yang menyampaikan kepada kita sunnah-sunnah Rasulullah SAW dan menyaksikan wahyu diturunkan kepada Rasulullah.

Mereka mengerti apa yang dikehendaki oleh Rasulullah SAW baik secara umum dan khusus. Mereka mengetahui semuanya yang tidak kita ketahui.

Mereka berada di atas kita dalam bidang ijtihad, pengetahuan, wara’, dan lainnya. pemikiran mereka lebih terpuji dan lebih utama untuk kita dari pemikiran yang datang berikutnya.

Jika seorang di antara mereka menyatakan pendapatnya dan tidak ada seorangpun yang menyalahkannya, maka kitapun harus mengambil pendapat tersebut”.( Manaaqib Imam Asy-Syafi’i,oleh AL-Baihaqi,1/442-443 )

Setiap sahabat memiliki kelebihan tersendiri, tapi yang paling utama secara berurutan adalah Abu Bakar,Umar, Utsman dan Ali Radiyallahu Anhum. lmam Asy- Syafi’i menyebutkan,”Semua ulama sepakat tentang ini, yang diperselisihkan hanya mana yang lebih utama Utsman atau Ali”. Beliau juga berkata,” Kita tidak menyalahkan salah seorang di antara kalangan sahabat Rasululah Shalalahu ‘alaihi wa Salam pada apa yang mereka kerjakan”.(Ibid,1/434)

Komentar ditutup.