Biografi Ibnu Taimiyah : Ulama Salaf Yang Sangat Fundamental

Biografi Ibnu Taimiyah – Nama lengkap Ibnu Taimiyah adalah Taqi al-Din Abul Abbas ibn Abd al-Salam ibn Taimiyah. Ia lahir pada 22 Januari 1262/661 H di Harran, dekat Damaskus, lima tahun setelah jatuhnya Baghdad, wafat pada tahun 728 H/1329 M.

Ayahnya,Abu al-Mahasin Abd al-Halim adalah salah satu terkemuka dari maszhab Hambali. Demikian pula kakeknya, Abu al-Barakat Abd al-Salam bin Abdullah juga salah seorang hli fiqh Hambali yang jug ahli tafsir dan hadis.

Karir intelektualnya dimulai dengan belajar secara intensif kepada ayahnya sendiri.

Baca juga : Biografi Imam Syafi’i Lengkap

Bacaan Lainnya

Kemudian dikembangkan dengan berguru kepada berbagai pihak seperti Ali Zain al-Din al-Muqaddasi, Najm al-Din bin Asakir, Zainab binti Maki dan lain-lain.

Dari gemblengan beberapa gurunya, ia mendapatkan reputasi sebagai seorang yang mempunyai wawasan yang luas, pendukung kebebasan berpikir, tajam perasaan, teguh pendirian dan pemberani serta menguasai banyak cabang ilmu agama.

Ia adalah seorang fundamentalis yang mendambakan kembali kepada kemurnian ajaran islam yang sesuai dengan kandungan al-Qur’an dan hadis.

Sepanjang hidupnya Ibnu Taimiyah banyak terlibat dalam perdebatan intelektual, polemic, dan konflik yang tak henti-hentinya akibat perbedaan pendapat dalam berbagai hal khusunya dalam hal keagamaan. Ia berdebat tidak hanya dengan intern sunni, tetapi juga dengan golongan lain.

Sumber konflik Ibnu Taimiyah dengan lawan-lawannnya itu di karenakan pendapat Ibnu Taimiyah yang didasarkan pada al-Qur’an, Sunnah dan praktik ulama’ salaf yang sering kali bertentangan dengan keyakinan dan praktik yang beredar luas pada masa itu.

Selama lebih dari 40 tahun lamanya ia sering kali dimusuhi oleh para ulama, hakim, dan pemerintah terutama baik di Damaskus maupun di Kairo.

Sebagai seorang intelektual yang cenderung berpikir bebas, Ibnu Taimiyah termasuk penulis yang sangat produktif.

Tulisan-tulisannya banyak bernada kritik terhadap pendapat dan paham yang tidak sejalan dengannya karena menurutnya bertentangan dengan ajaran al-Qur’an dan hadis.

Sistem Pemikiran Ibnu Taimiyyah

Ibnu Taimiyyah membagi metode ulama-ulama Islam dalam lapangan aqidah menjadi empat, yaitu:

Aliran filsafat yang mengatakan bahwa al-Qur’an berisi dalil “Khitabi dan iqna’i” (dalil pemenang dan pemuas hati bukan pemuas pikiran) yang sesuai untuk orang banyak, sedang filosof-filosof menganggap dirinya ahli pembuktian rasional (burhan) dan keyakinan, suatu cara yang lazim dipakai dalam lapangan aqidah.

Aliran Mutazilah mendahulukan dalil akal rasional sebelum mempelajari dalil-dalil al-qur’an. Mereka memang mengambil kedua macam dalil tersebut, akan tetapi mereka lebih mengutamakan dalil-dalil akal pikiran, sehingga tujuan mereka mena’wilkan al-Qur’an hanya untuk digunakan sebagai penyesuaian dengan hasil pemikiran.

Golongan ulama’ yang percaya kepada dalil-dalil al- Qur’an, sebagai suatu berita yang harus dipercayai, tetapi tidak dijadikan pangkal penyelidikan akal pikiran.

Baca juga : Dalam Sejarah, Inilah Kelompak dan Orang yang mengaku Imam Mahdi

Bisa jadi yang dimaksud itu pangkal penyelidikan akal pikiran. Golongan yang mempercayai aqidah dan dalil-dalilnya yang disebut dalam al-Qur’an, tetapi mereka juga menggunakan dalil akal pikiran disamping al-qur’an.

Menurut Ibnu Taimiyyah, metode aliran Salaf berbeda sama sekali dengan metode keempat golongan tersebut.

Aliran salaf hanya percaya kepada aqidah-aqidah dan dalil-dalilnya yang ditunjukkan oleh nas, karena nas tersebut adalah wahyu yang diturunkan oleh Tuhan kepada nabi Muhammad saw.

aliran salaf juga tidak percaya kepada metode lagika rasionil yang asing bagi Islam, karena metode ini tidak terdapat pada masa sahabat dan Tabiin.

Aliran salaf yang dibawa oleh Ibnu Taimiyyah bepikiran bahwa, kalau metode- metode tersebut yang digunakan untuk memahami aqidah-aqidah Islam suatu keharusan, maka berarti Rasul dan sahabat-sahabatnya tidak mengerti isi ayat-ayat Qur’an, bahkan tidak mengerti maksud perkataan mereka sendiri tentang sifat-sifat Tuhan.

Jadi, jalan untuk mengetahui aqidah-aqidah dan hukum-hukum dalam Islam dan segala sesuatu yang bertalian dengan itu, baik yang pokok ataupun bukan, baik aqidah itu sendiri maupun dalil-dalil pembuktiannya, tidak lain sumbernya ialah Qur’an dan hadis Nabi sebagai penjelasnya. Apapun yang telah ditetapkan oleh Qur’an dan dijelaskan oleh sunnah Nabi harus diterima dan tidak boleh ditolak.

Akal pikiran tidak mempunyai kekuasaan untuk mena’wilkan Qur’an atau menafsirkannya ataupun menguraikannya, kecuali dalam batas-batas yang diizinkan oleh kata-kata (bahasa) dan dikuatkan pula oleh hadis-hadis. Kekuasaan akal pikiran sesudah itu tidak lain hanya membenarkan dan tunduk kepada nas.

Jadi, fungsi akal pikiran tidak lain hanya menjadi saksi pembenar dan penjelas al-Qur’an, bukan menjadi hakim yang akan mengadili dan menolaknya.

Ajaran-ajaran Ibnu Taimiyyah Terkait Dengan Aqidah Islam

Sebagai pengikut Mazhab Fiqh Hambali, Imam Ibnu Taimiyah berpegang kepada makna zahir ayat mutasyabihat, dan menghukum sesat pemikiran akidah yang menggunakan takwil (Majmu’ah al-Fatawa:6/357).

Dia menegaskan, makna zahir ayat mutasyabihat itu tidak bisa dianggap tasybih (menyerupakan Tuhan dengan makhluk) atau tajsim (menganggap Tuhan punya anggota badan). Menurutnya, yang tetap bagi Tuhan berbeda dengan apa yang ada pada diri makhluk (Muhammad Salim: Ba’dh Afkar Ibnu Taimiyah Fi al-Aqidah).

Bukan saja menolak pemikiran takwil, Ibnu Taimiyah juga menolak keras menisbahkan pemikiran tafwidh kepada ulama Salaf. Menurut beliau, pemikiran akidah ulama Salaf itu adalah itsbat, yaitu menetapkan sifat Allah sebagaimana yang tersebut dalam ayat mutasyabihat.

Baca juga : Surat Al-A’raf Arab, Latin dan Terjemahan Bahasa Indonesia

Sebenarnya, pemikiran tafwidh generasi Salaf itu bukan bermakna mereka tidak mengetahui maknanya dari aspek bahasa, dan bukan juga mereka menafikan sifat yang tersebut dalam ayat mutasyabihat. Tapi mereka tidak mau menafsirkannya sesuai penafsiran manusia, sekalipun disebutkan setelah penafsiran itu pernyataan tanpa bentuk atau cara (bila kaif).

Sikap generasi Salaf ini penyerahan maknanya secara mutlak kepada Allah (Muhammad al-Qushi: Mauqif al-Salaf Min al-Mutasyabihat). Sikap ulama Salaf itu bisa dilihat dalam pernyataan sahabat Imam Abu Hanifah, Imam al-Hasan, bahwa para ulama fiqh dari Timur hingga Barat sepakat mengatakan kewajiban beriman kepada ayat mutasyabihat tanpa memberikan penafsiran (Imam al-Lalika’i: Syarh Ushul I’tikaq Ahl Sunnah).

Tapi, Ibnu Taimiyah sebagai ulama panutan Salafi itu menilai pernyataan Imam al-Hasan itu bertentangan dengan pemikirannya, lalu dia mengatakan bahwa maksud Imam al-Hasan itu ialah tidak menafsirkannya sesuai dengan penafsiran kaum al-Jahmiyah yang bertentangan dengan pemikiran itsbat (Ibnu Taimiyah: al-Fatwa al-Hamawiyah al-Kubra).

Ajaran yang ditanamkan Ibnu Taimiyyah berkaitan dengan aqidah

1. Keesaan zat dan sifat

Menurut Ibnu Taimiyyah, konotasi (kandungan) perkataaan “keesaan (tauhid) dan perkataan-perkataan lainnya yang ada hubungannya dengan perkataan tersebut yaitu “penyucian” (tanzih), “penyerupaan” (tasybih), dan “penjisiman” dapat berbeda-beda menurut perbedaan orang yang memakainya, sebab tiap-tiap golongan mengartikannya dengan arti yang berlainan.

Perbedaan ulama’ tentang kandungan arti perkataan-perkataan tersebut seharusnya tidak boleh menjadi alasan untuk menuduh orang lain telah kafir, sebab perbedaan tersebut timbul karena perbedaan tinjauan, bukan perbedaan dalam arti yang sebenarnya.

Ajaran dari Ibnu Taimiyyah (aliran salaf) tidak pernah mengafirkan lawan-lawannya, melainkan hanya memandang mereka telah sesat. Sedangkan pendirian yang tidak mengandung kesesatan adalah pendirian mereka sendiri ( aliran salaf), menurut pengakuan mereka sendiri.

Sifat-sifat tersebut dipercaya oleh aliran Salaf dengan memegangi arti letterleknya, meskipun dengan pengertian bahwa sifat-sifat tersebut tidak sama dengan sifat-sifat makhluk.

Jadi tangan Tuhan tidak sama dengan tangan manusia, dan begitu seterusnya, karena Tuhan suci dari yang semacam itu. Dengan perkataan lain, ‘aqidah aliran ini terletak di antara ta’thil (peniadaan sifat) sama sekali dan tasybih (penyerupaan Tuhan dengan makhlukNya).

2. Keesaan pencipta

Dasar Keesaan Penciptaan ialah bahwa Tuhan menjadikan langit dan bumi, apa yang ada di dalamnya atau yang terletak di antara keduanya, tanpa sekutu dalam menciptakannya, dan tidak ada pula yang mempersengketakan kekuasaanNya, tidak ada kemauan makhluk yang mempersengketakan kemauan Tuhan, atau bersama-sama dengan Dia dalam menciptakan segala sesuatu, bahkan segala sesuatu dan semua pekerjaan datang dari Tuhan, dan kepadaNya pula kembali.

Kelanjutan dari kepercayaan tersebut ialah persoalan ‘Jabar dan Ikhtiar’ dan apakah perbuatan Tuhan terjadi karena untuk mencapai sesuatu tujuan tertentu atau tidak.

3. Keesaan ibadah

Keesaan ibadah artinya seseorang manusia tidak mengarahkan ibadahnya selain kepada Tuhan, dan hal ini baru terwujud apabila dua hal berikut dipenuhi:

  • Hanya menyembah Tuhan semata-mata dan tidak mengetahui Ketuhanan selain bagi Allah, siapa yang mengikutsertakan seseorang makhluk untuk disembah bersama Tuhan, berarti ialah telah syirik. Siapa yang mempersamakan al Khalik dengan makhluk dalam sesuatu macam ibadah, berarti ia mengangkat Tuhan selain Allah, meskipun ia mempercayai keesaan Tuhan al Khalik.
  • Kita menyembah Tuhan dengan cara yang telah ditentukan (disyaratkan) oleh Tuhan melalui rasul-rasulNya. Baik ibadah yang wajib, atau sunah maupun mubah, harus dimaksudkan untuk ketaatan dan pernyataan syukur semata-mata kepada Tuhan.

Adapun kritik Ibn Taimiyah terhadap Filsafat dan Sufisme seperti berikut :

• Kritik Ibnu Taimiyah terhadap Filsafat

Ibnu Taimiyah menganggap para filosof yang menggunakan analisis logika dan sebab-akibat telah salah memperlakukan Allah sebagai sebuah prinsip impersoal, yang tidak menciptakan dunia dan tidak memiliki pengetahuan tentang bagian-bagian terperincinya.

Doktrin-doktrin filsafat seperti ini dianggapnya bertentangan dengan satu-satunya sumber kebenaran yang dimiliki umat Islam yaitu wahyu. Selain itu, metodologi filsafat karena terbatas pada logika artinya pada penelasan konsep-konsep dan pembentukan argumen-argumen yang sahih tidak dapat diterapkan pada teologi.

• Kritik Ibnu Taimiyah terhadap Sufiisme

Ibnu Taimiyah memperluas kritiknya kepada para teoretisi sufi. Misalnya kritik terhadap Ibnu Arabi yang menganjurkan mistisisme monistik. Bagi Ibnu Taimiyah, para sufi secara khusus bersalah karena mereka menulis sesuatu yang bertentangan dengan transendensi mutlak Allah.

Sebagai contoh Ibnu Arabi memberlakukan universal-universal pada Allah, yang berarti kesempurnaan Allah memerlukan perwujudan universal-universal itu.

Baca juga : Surat Ibrahim Arab, Latin dan Terjemahan Bahasa Indonesia

Dengan demikian, ia serta para teoretisi mistisisme lain yang menekankan pada perwujudan Allah, secara keliru menyamakan Allah dengan makhluk, baik dalam wilayah yang benar-benar alami atau dengan fenomena pengalaman eksistensial manusia yang bersifat disengaja.

Spiritualisasi terhadap fenomena psikologis ini dianggapnya salah, baik secara logika maupun moral. Penggambaran kesatuan ini melanggar kemandirian mutlak Allah dari alam semesta dan mengorbankan transendensi demi menonjolkan imasensiNya.( Hamid, Sha’ib Abdul. 2009. Ibnu Taimiyah: Rekam Jejak Sang Pembaharu. Jakarta: Citra.)

• Kritik terhadap Syiah dan Kristen

Ibnu Taimiyah meneruskan langkahnya dengn mengkritik kaum Syiah. Ia memandang mereka sama dengan kaum Yahudi dalam mengklaim status khusus untuk diri mereka sendiri, sebab kaum Syiah tenggelam dalam mitos dan keunikan sang imam, kemustahilannya berbuat salah, dan ikatan istimewanya dengan Allah. Sebuah kedudukan yang hanya diberikan oleh Ibnu Taimiyah untuk Nabi Muhammad (Q.S al-Maidah: 20, al-Taubah: 30-31).

Orang-orang Kristen pun tidak luput dari kritik tajam Ibnu Taimiyah. Ia menganggap orang-orang Kristen berada dalam kebodohan serupa dalam kepercayaan mereka kepada Trinitas, pengubahan terhadap Injil dan praktik-praktik antimonoteistik mereka.

Kesimpulan

Ibnu Taimiyyah adalah seorang ulama salaf yang sangat fundamental, karena saking fundamentalnya beliau sering dimusuhi oleh ulama lain di zamannya, beliau memiliki metode pemikiran tentang salaf yang sangat berbeda dan lebih frontal dibanding ulama umumnya oleh karena itu beliau sampai dipenjara dan sampai tua pun hidup beliau lebih dihabiskan dalam perjara.

Metode beliau mengenai salaf sangatlah nerdasar dimana segala sesuatu harus berdasarkan al Quran dan hadits saja tanpa repot-repot mena’wilkannya dengan akal manusia, dan posisi akal adalah sebagai saksi atas kebenaran al Quran.

Ajaran yang paling populer yaitu tentang aqidah, dimana beliau mengutuk atas takwil mutasyabihat itu tidak dapat tasybih menyerupakan tuhan dengan mahluk, karena tuhan berbeda dengan apa yang ada pada diri mahluk.

Wallahualam ( Nur Afifah-academia)

Komentar ditutup.